Stigma terhadap masalah mental masih menjadi hambatan besar dalam akses terapi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang negatif terhadap orang-orang dengan gangguan mental, sehingga banyak yang enggan untuk mencari bantuan dan terapi yang mereka butuhkan.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hanya sekitar 10% dari total populasi yang mengalami masalah mental yang mendapatkan akses terapi yang adekuat. Hal ini menunjukkan bahwa stigma masih sangat kuat di masyarakat kita.
Salah satu contoh stigma yang masih melekat adalah anggapan bahwa masalah mental hanya terjadi pada orang-orang yang lemah atau gila. Padahal, menurut dr. Tirta Mandala, seorang psikiater, masalah mental bisa dialami siapa saja, tanpa memandang usia, gender, atau latar belakang sosial.
“Stigma terhadap masalah mental ini bisa berdampak sangat buruk pada individu yang mengalaminya. Mereka sering kali merasa malu dan takut untuk mencari bantuan, padahal terapi dan dukungan sosial sangat penting dalam pemulihan mereka,” ujar dr. Tirta.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah mengeluarkan pernyataan tentang pentingnya mengatasi stigma terhadap masalah mental. Mereka menekankan bahwa pendekatan yang holistik, melibatkan seluruh masyarakat, sangat diperlukan untuk mengubah pandangan negatif ini.
Untuk itu, peran semua pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat umum, sangat dibutuhkan dalam mengatasi stigma terhadap masalah mental. Dengan menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung, diharapkan akses terapi bagi mereka yang membutuhkan dapat meningkat.
Jadi, mari kita bersama-sama berjuang untuk menghapus stigma terhadap masalah mental agar semua orang dapat mendapatkan akses terapi yang mereka butuhkan. Kesehatan mental adalah hak asasi setiap individu, dan tidak boleh diabaikan hanya karena stigma yang belum teratasi.